Aku membenci ilusi. Tapi tak dipungkiri aku pun sering ber-ilusi.
Hari itu hari dimana hari-hari ku terasa kosong tapi sangat membebani. Ku tinggalkan dia yang memang bukan siapa-siapa dan akan selalu bukan siapa-siapa sampai kapanpun.
Hari dimana kita terjalin esa yang sangat dekat, memang rasanya nikmat luar biasa tapi pun juga menyakitkan luar biasa dalam bayangan di masa depan. Sembari waktu berjalan, aku selalu terus berfikir luar biasa perihnya hati. Cinta terlarang memang buat luka dihati yang tak punya solusi apapun.
Perbedaan agama, itu lah nomor utama. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengkhianati orang tua hanya untuk berkorban demi sang pujaan hati yang katanya akan hidup sampai akhir hayat di kehidupan masa depan tetapi tanpa sebuah restu?
Orang tua tentu tak ingin anak mengingkari perjanjian dalam keluarga lantas bagaimana mungkin masa depan telak indah bila ijin restu kebahagiaan saja tidak diperoleh?
Orang tua tentu tak ingin anak mengingkari perjanjian dalam keluarga lantas bagaimana mungkin masa depan telak indah bila ijin restu kebahagiaan saja tidak diperoleh?
Dan terlalu banyak alasan lainnya yang buat mereka tak bisa sejalan tuk mengabulkan harap dan impian di benak mereka.
Hari-hari berlalu, ilusi itu pun muncul tanpa sebab. Ingatan tentang mereka, sedihnya rasa yang bukan atas keinginan hati, kepuasan yang tak kunjung di dapat, penderitaan untuk menahan segala perasaan, dan pengorbanan untuk telak menerima secara nyata bahwa faktanya mereka tak dapat kembali bertemu untuk menjalin kisah asa seperti yang pernah dirasa sebelumnya. Ini semua amat sangat sakit rasanya di malam hari.
Sampai kini dua per tiga bulan telah berlalu pun terkadang indahnya rasa lalu masih terus terkenang. Aroma dan segala ingatan itu masih terus melekat dan kadang terlupa disaat berbagai aktivitas harian muncul. Aku pun yakin, beberapa bulan kedepan aku bisa melupa seluruhnya. Tapi tidak untuk ku buang. Semua yang pernah dirasa, dilakukan, diterima, dijalankan, takkan pernah memilih untuk di buang, karena ingatan kala itu bukan lah sampah buat ku. Mereka indah adanya
Bila ilusi itu kembali datang, aku kan persilahkan. Ku terima kembali betapa malang dan pahitnya semua rasa. Ku genggam dalam pelukan semua pilu dan tangis. Malam itu aku pernah membeli hewan-hewan lautan yang sudah dimasak. Aku membeli sendiri. Aku teringat saat itu kita berdua yang membelinya bersama. Oh ya, aku selalu menapaki jalan yang dulu tengah kita tempuh bersama setiap harinya. Kali ini rasanya amat berbeda. Mula-mula sakit rasanya menapaki jalan itu sendiri, tapi kian lama rasanya hilang. Aku memang benar sendiri adanya kini tanpa kamu yang dulu menapaki jalan itu bersamaku.
Terakhir kali aku tahu kabarmu bahwa kamu pindah kediaman dengan alasan ingin mencari suasana baru. Apakah bayangku masih melekat di tempat kediaman sebelumnya? Aku terlalu percaya diri, aku harap bukan karena aku. Bukan karena bayang semu ku yang buat kamu memilih pindah persinggahan. Sungguh, aku kaget begitu tahu alasannya karena ku tahu, kamu sudah tinggal di tempat itu bertahun-tahun dan kalau hanya untuk mencari suasana baru, sekali lagi ku harap bukan karena ku.
Kini ilusi itu selalu muncul di setiap aku sendiri. Hanya terkadang disaat pikiran kosong. Tak pernah terlupa bahkan tak pernah pergi biarpun aku selalu membiarkannya pergi, tapi ilusi itu selalu melekat.
Tahukah kamu bahwa aku masih selalu di sisi mu dengan bersembunyi di balik topeng media sosial? Aku menjadi orang lain, dan kini kamu telah tertarik kepada orang itu. Aku tahu itu hanya pelarian mu saja bukan? Atau jangan-jangan dari kejauhan sana kamu pun juga tahu bahwa aku lah pengecut yang selalu sembunyi di balik akun sosial media bodong sana?
Percaya lah, sampai kini aku masih menggenggam ilusi kita
(Di awal bulan Mei tulisan ini terlahir...)
Terakhir kali aku tahu kabarmu bahwa kamu pindah kediaman dengan alasan ingin mencari suasana baru. Apakah bayangku masih melekat di tempat kediaman sebelumnya? Aku terlalu percaya diri, aku harap bukan karena aku. Bukan karena bayang semu ku yang buat kamu memilih pindah persinggahan. Sungguh, aku kaget begitu tahu alasannya karena ku tahu, kamu sudah tinggal di tempat itu bertahun-tahun dan kalau hanya untuk mencari suasana baru, sekali lagi ku harap bukan karena ku.
Kini ilusi itu selalu muncul di setiap aku sendiri. Hanya terkadang disaat pikiran kosong. Tak pernah terlupa bahkan tak pernah pergi biarpun aku selalu membiarkannya pergi, tapi ilusi itu selalu melekat.
Tahukah kamu bahwa aku masih selalu di sisi mu dengan bersembunyi di balik topeng media sosial? Aku menjadi orang lain, dan kini kamu telah tertarik kepada orang itu. Aku tahu itu hanya pelarian mu saja bukan? Atau jangan-jangan dari kejauhan sana kamu pun juga tahu bahwa aku lah pengecut yang selalu sembunyi di balik akun sosial media bodong sana?
Percaya lah, sampai kini aku masih menggenggam ilusi kita
(Di awal bulan Mei tulisan ini terlahir...)