Welcome blog Mba Nana

Diario Area | Diario Travel | Diario Outfit | Diario Love | Diario Diario

Jumat, 21 Juni 2019

Perihal ilusi itu




Aku membenci ilusi. Tapi tak dipungkiri aku pun sering ber-ilusi.

Hari itu hari dimana hari-hari ku terasa kosong tapi sangat membebani. Ku tinggalkan dia yang memang bukan siapa-siapa dan akan selalu bukan siapa-siapa sampai kapanpun. 

Hari dimana kita terjalin esa yang sangat dekat, memang rasanya nikmat luar biasa tapi pun juga menyakitkan luar biasa dalam bayangan di masa depan. Sembari waktu berjalan, aku selalu terus berfikir luar biasa perihnya hati. Cinta terlarang memang buat luka dihati yang tak punya solusi apapun. 

Perbedaan agama, itu lah nomor utama. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengkhianati orang tua hanya untuk berkorban demi sang pujaan hati yang katanya akan hidup sampai akhir hayat di kehidupan masa depan tetapi tanpa sebuah restu?

Orang tua tentu tak ingin anak mengingkari perjanjian dalam keluarga lantas bagaimana mungkin masa depan telak indah bila ijin restu kebahagiaan saja tidak diperoleh? 

Dan terlalu banyak alasan lainnya yang buat mereka tak bisa sejalan tuk mengabulkan harap dan impian di benak mereka. 

Hari-hari berlalu, ilusi itu pun muncul tanpa sebab. Ingatan tentang mereka, sedihnya rasa yang bukan atas keinginan hati, kepuasan yang tak kunjung di dapat, penderitaan untuk menahan segala perasaan, dan pengorbanan untuk telak menerima secara nyata bahwa faktanya mereka tak dapat kembali bertemu untuk menjalin kisah asa seperti yang pernah dirasa sebelumnya. Ini semua amat sangat sakit rasanya di malam hari. 

Sampai kini dua per tiga bulan telah berlalu pun terkadang indahnya rasa lalu masih terus terkenang. Aroma dan segala ingatan itu masih terus melekat dan kadang terlupa disaat berbagai aktivitas harian muncul. Aku pun yakin, beberapa bulan kedepan aku bisa melupa seluruhnya. Tapi tidak untuk ku buang. Semua yang pernah dirasa, dilakukan, diterima, dijalankan, takkan pernah memilih untuk di buang, karena ingatan kala itu bukan lah sampah buat ku. Mereka indah adanya 

Bila ilusi itu kembali datang, aku kan persilahkan. Ku terima kembali betapa malang dan pahitnya semua rasa. Ku genggam dalam pelukan semua pilu dan tangis. Malam itu aku pernah membeli hewan-hewan lautan yang sudah dimasak. Aku membeli sendiri. Aku teringat saat itu kita berdua yang membelinya bersama. Oh ya, aku selalu menapaki jalan yang dulu tengah kita tempuh bersama setiap harinya. Kali ini rasanya amat berbeda. Mula-mula sakit rasanya menapaki jalan itu sendiri, tapi kian lama rasanya hilang. Aku memang benar sendiri adanya kini tanpa kamu yang dulu menapaki jalan itu bersamaku.

Terakhir kali aku tahu kabarmu bahwa kamu pindah kediaman dengan alasan ingin mencari suasana baru. Apakah bayangku masih melekat di tempat kediaman sebelumnya? Aku terlalu percaya diri, aku harap bukan karena aku. Bukan karena bayang semu ku yang buat kamu memilih pindah persinggahan. Sungguh, aku kaget begitu tahu alasannya karena ku tahu, kamu sudah tinggal di tempat itu bertahun-tahun dan kalau hanya untuk mencari suasana baru, sekali lagi ku harap bukan karena ku.

Kini ilusi itu selalu muncul di setiap aku sendiri. Hanya terkadang disaat pikiran kosong. Tak pernah terlupa bahkan tak pernah pergi biarpun aku selalu membiarkannya pergi, tapi ilusi itu selalu melekat.

Tahukah kamu bahwa aku masih selalu di sisi mu dengan bersembunyi di balik topeng media sosial? Aku menjadi orang lain, dan kini kamu telah tertarik kepada orang itu. Aku tahu itu hanya pelarian mu saja bukan? Atau jangan-jangan dari kejauhan sana kamu pun juga tahu bahwa aku lah pengecut yang selalu sembunyi di balik akun sosial media bodong sana?

Percaya lah, sampai kini aku masih menggenggam ilusi kita 


(Di awal bulan Mei tulisan ini terlahir...)



Bisakah aku sampaikan pesan ini disini saja? Bahwa sebenarnya ku ingin ucap semua. Tapi kau pun tak pernah mengerti. Otak mu buntu. Aku jelaskan perlahan...

Kau ingat, berawal pada masa itu aku baru saja putus dengan dia yang tega. Aku disanding teman mu, digiring menghadapmu, kita berkenalan biasa saja, tapi rasanya indah. Kini, semakin kita merajut asa sampai muncul di tahun ketiga, aku mulai mengenal semuanya. Walaupun kamu juga tahu, di tahun pertama aku benar ingin menyudahi semuanya. Aku memang tak suka sikap dan caramu, itu semua yang menyebabkan ku jadi seperti ini. 

Kau pun selalu berucap, bila aku benar memihakmu maka harus ku sadari aku mengikuti mu sepenuhnya. Walaupun nurani ku mengatakan aku berusaha untuk itu, tetap saja tidak pernah berhasil. 

Sikap keras, buruk, dan isi otak mu benar tidak sepenuhnya baik. Kau mengikuti ku sepenuhnya perihal apapun itu, apa dikarenakan aku mengajakmu menjadi semua yang ku ingin maka kamu pun berhak untuk bersikap diluar batas padaku? Lantas, bagaimana mungkin aku yang seorang perempuan mampu sabar menerima semuanya? Bukankah kamu juga tahu, emosional ku bisa diujung pitam daripada apapun.

Mengapa dahulu kamu selalu terus mengajak gulat bicara sampai nyaris aku lebih memilih mati daripada hidup semati denganmu. Lantas, kau berharap aku bisa menulis cerita indah nantinya. Maka dimana letak bagian indahnya bila dahulu kamu terus menerus mengejekku perihal aku lama mengabari, kamu pun juga terus mencari alasan untuk marah besarmu perihal aku bertemu dengan semua teman-teman pria. Terlebih kamu selalu mengikut campur semua urusan pribadiku, walaupun aku tahu memang itu hak mu tapi sadarkah bahwa sebetulnya kamu mempunyai batasan untuk itu semua?

Aku memang menangisimu, itu karena rajut asa yang kita tempuh ini akhirnya harus berakhir. Mimpi-mimpi kita dahulu kala, pergi ke seluruh dunia, mempunyai mobil yang paling dahsyat, menghasilkan anak yang wajahnya tampan, dan perjuangan dari semasa kuliah dilanjut pada karir sekarang ini, bahwasannya semakin berat bukan liku liku kita? 

Hidup yang dulunya hanya berdua untuk berpergian, suka duka bosan letih senang semuanya hanya berdua. Tidak untuk dunia yang sekarang. Karena ini kah kamu justru berubah semakin amruk? Tapi selalu saja, kesalahan ku di masa lalu kau hakimi. Terlebih hubungan ku dengan yang lama bila dibandingkan dengan hubungan kita, kau selalu bilang kalau pria seperti mu jauh lebih sempurna dari apapun. Lantas, apa kesempurnaan memang hanya milik mereka yang merasa sempurna? 

Kata-katamu tanpa kusadari memang menjadi perangkap, sebuah ancaman halus yang aku pun juga tak tahu apa itu. Aku selalu takut untuk berpisahnya kita, maka itu aku selalu memaklumi segala buruknya kamu. Tapi tak pernah ku lupa dengan segala yang buruk itu nyaris membawa ku pada akhir hidup. Ibu dan adikku lah yang selalu jadi saksi mata perguncingan kita di situs obrolan sosial media. Kau pun tak menganggap hal itu adalah tekanan batin buatku, karena kamu hanya menerima pesan dari mulutku dan justru merasakan apa yang menurutmu tidak baik pada dirimu, tidak melihat aku. 

Ya... semuanya sangat disayangkan 
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Fransisca Williana Nana
Lihat profil lengkapku

Followers

total human

Popular Posts